Beberapa waktu lalu, saya dan teman-teman di Aethra Learning Center sempat menerima sebuah tawaran kerja sama dengan SMP Santa Maria Juanda untuk memberikan pelatihan kepada siswa/i mereka tentang penggunaan internet dan social media. Selama membuat materi pelatihan, saya jadi bernostalgia hal-hal jadul banget.
Dulu itu, saya cuma bisa main internet setiap hari Sabtu. Biasanya sih jam 4 sore sampai jam 7 malam. Kalau orang tua lagi pergi, bisa lah sampai jam 8 malam. Kenapa gitu? Soalnya, dulu itu kalau kita mau pakai internet, telepon kita mati. Jadi kudu milih-milih waktu yang pas, jam-jam di mana orang rumah jarang dapet telepon. Beda banget kan sama sekarang? Kalau dulu mau akses internet, saya harus nyamperin komputer. Kalau sekarang, saya bisa akses internet dimanapun dan kapanpun, via handphone.
Selama saya buat materi pelatihan tadi, saya juga jadi paham kalau sebenernya kita ini bukan hanya punya kewarganegaraan seseuai tanah kelahiran. Kita juga menjadi seorang warga negara digital. Banyak sekali pelatihan di luar negri tentang hal ini supaya masyarakat sadar bahwa kita hidup di sebuah era digital dan kita semua warga negara digital. Jadi, ada kehidupan kita sebagai warga negara digital (kehidupan online) dan kehidupan kita sebagai warga negara (misalnya) Indonesia (kehidupan offline).
Dulu, dunia offline dan online kita sepertinya masih sangat terpisah. Dulu saya punya jadwal kapan saya boleh/bisa internet. Masih ada batas yang sangat jelas mana hidup offline saya, dan mana hidup online saya. Dan proporsi hidup offline rasanya lebih besar saat itu. Sekarang, dunia offline dan online kita itu sudah hampir tidak terpisah. Kalau dulu, kehidupan online itu sifatnya tambahan. Kalau sekarang rasanya kehidupan online sudah nyaris melebur atau menyatu dengan kehidupan offline.
Masalahnya adalah saat ini banyak orang yang kehidupan online dan offline-nya tidak seimbang. Mereka membiarkan kehidupan online mereka menggantikan kehidupan offline mereka. Proporsi hidup online mereka JAAAUUUUH lebih besar daripada kehidupan offline mereka.
Saya kasih satu bukti kecil deh.
Pernah tidak merasa sangat akrab dengan seseorang di dunia maya melalui chatting atau social media, tetapi menjadi canggung dan tidak menunjukkan tanda akrab sama sekali di dunia nyata?
Mungkin pernah ya, tapi hanya dengan orang-orang tertentu saja. Tapi, percayalah bahwa banyak sekali yang mengalami hal ini tidak hanya dengan satu orang saja. Ini adalah salah satu tanda bahwa kehidupan online sudah menggantikan kehidupan offline mereka. Hidup mereka menjadi kurang sehat secara psikologis karena ketidakseimbangan antara dunia online dan dunia offline mereka. Hal ini menjadi berbahaya kalau hal ini terjadi terlalu lama dan bahkan memutuskan interaksi antara seseorang dengan lingkungannya.
Jadi, harusnya gimana dong?
Replacement VS Complement
Kehidupan online tidak seharusnya menggantikan kehidupan offline. Menggantikan kehidupan offline dengan kehidupan online berdampak pada cara individu bersosialisasi, terutama ketika individu berinteraksi di dunia offline. Secara fisik, kita kan tetap menjalani kehidupan offline atau nyata setiap harinya. Artinya, kehidupan offline seharusnya tidak memiliki peranan yang kecil atau bahkan digantikan sepenuhnya oleh kehidupan online. Ketika seseorang menggantikan kehidupan offline dengan kehidupan online, maka ia terputus secara psikologis dengan lingkungannya. Padahal salah satu syarat untuk menjadi bahagia atau sehat secara psikologis adalah engagement atau keterlibatan secara langsung dengan lingkungan sekitarnya.
Seharusnya kehidupan online tidak menggantikan kehidupan offline dan kehidupan offline tidak memiliki peranan yang minim dibanding kehidupan online. Kehidupan online seharusnya bisa melengkapi kehidupan offline kita. Sebagai contoh, seharusnya dengan kehidupan online seorang teman di dunia nyata bisa berkomunikasi sehingga ketika bertemu di dunia nyata kembali ia bisa menjadi seorang sahabat.
Emoting With Icons
Salah satu ciri khas dari bersosialisasi di dunia online adalah penggunaan emoticon untuk mengungkapkan perasaan. Ketika seseorang sudah menggantikan dunia offline mereka dengan dunia online, secara otomatis mereka jauh lebih sering menggunakan emoticon untuk mengungkapkan banyak hal. Hal ini menjadi berbahaya bagi orang tersebut.
Di dalam satu buah emoticon seharusnya terkandung emosi yang bisa dijabarkan lebih dari 1 kata atau bahkan satu kalimat. Keseringan memotong kata atau kalimat dengan satu buah emoticon dapat berujung pada tumpulnya kemampuan individu untuk mengekspresikan emosinya. Hal ini menjadi berbahaya ketika individu tersebut mengalami masalah atau stressor yang membuat dirinya sebenarnya butuh untuk mengekspresikan emosinya agar menjadi sehat secara psikologis dalam menghadapi stressor. Ketidakmampuan individu untuk berekspresi dapat membuat ia tidak sehat secara psikologis dan dapat berujung pada depresi atau gangguan lainnya karena pengelolaan stress yang kurang baik.
Selain itu, penggunaan emoticon daripada mengungkapkan atau berekspresi melalui kalimat dapat membuat orang lain salah menangkap emosi yang dirasakan atau pesan yang ingin disampaikan. Hal ini dapat membuat individu mendapat respon atau bantuan yang kurang sesuai karena orang lain salah menangkap pesan. Hal ini dapat berdampak pada komunikasi dengan lingkungan yang menjadi kurang terbuka atau lancar, dan juga terhadap kesehatan psikologis individu yang membutuhkan bantuan orang lain (social support).
Jadi apa yang harus dilakukan?
Internet pada mulanya diciptakan untuk melengkapi hidup kita, bukan untuk menggantikan hidup kita.
Jadi, gunakan internet sebagai alat! Jangan jadikan internet/social media adalah kehidupan kalian. Jangan biarkan internet mengendalikan apa yang Anda rasakan.
Jangan biarkan internet/social media menjadi penentu kebahagiaan Anda.
P.S.:
Related article written by William S. Budiman: “Social Media: Connecting People By Disconnecting It”.