(Berusaha) Memahami Pandji

Hari ketiga di tahun 2017 saya diwarnai dengan perasaan sedih. I woke up and I found my name being mentioned on Facebook by my friend. Ternyata saya dimintai pendapat mengenai sebuah artikel yang menyebutkan 3 nama yang mencuat akhir-akhir ini terkait Pilkada; Pak Anies Baswedan, FPI, Pandji Pragiwaksono. Beritanya menggambarkan ketidakkonsistenan yang dilakukan oleh yang terakhir terkait sikapnya terhadap FPI. Setelah itu saya tidak langsung membalas. Saya melihat timeline Facebook saya penuh dengan berita senada yang menyebutkan 3 nama tadi. Saya terus melihat secara selintas dan saya perhatikan cukup banyak tulisan artikel yang tidak hanya menekankan kepada ketidakkonsistenan Pandji, tetapi juga mengatakan hal negatif mengenai stand up comedy yang dilakukannya.

I feel sad and hurt by their opinions about Pandji. He is my friend. Entah apakah Pandji juga menganggap demikian but well I consider him as my friend. We know each other since 6 years ago, he was my mentor while I am competing in a stand up comedy competition and Pemuda #BeraniMengubah, we worked together in some events. Dia orang yang mendukung saya walaupun saya dieliminasi. He is my Indonesian hero. I know him, I look up to him, and I consider him as a friend of mine. And I don’t want people talking bad about my friend.

Yes, I know how some people feel about him right now.
Ketika pertama kali berita tentang Pandji sebagai Juru Bicara dan TimSes Pak Anies saya mungkin salah satu orang yang kaget.
Ketika menonton Pandji di Mata Najwa Episode Jurus Bela Kandidat, saya mungkin salah satu orang yang merasa kecewa.
Ketika saya menemukan pertanyaan-penyataan yang terasa berbeda dulu dan kini, saya mungkin adalah salah satu orang yang merasa ironi dan miris.
Ketika Pandji menggunakan istilah bully, mungkin saya salah satu orang yang tidak setuju karena penggunaan term tersebut tidak tepat.
What do I do then? I only try to rationalise things so I can make myself less feeling disappointed or upset.
But yesterday, one realization hit me.

Ketika kemarin pagi semua orang mengkritik ketidakkonsistenan yang Pandji lakukan dan menyebutnya penjilat ludah, saya sedih. Tetapi saya tidak bisa melakukan apapun karena ketidakkonsistenan yang ada tetaplah sebuah ketidakkonsistenan; sebuah fakta yang tidak bisa saya sanggah. Bahkan saya setuju dengan beberapa pendapat mereka tersebut.

Namun demikian, ketika banyak orang mulai menyerang Pandji sebagai seorang stand up comedian yang tidak lucu, jayus, tidak berbakat. Ketika banyak orang mulai menghina karya Pandji. Banyak menghina Pandji sebagai individu dengan label yang buruk, saya terpanggil untuk membela seorang teman. Kalau saat ini, di depan mata saya, ada satu orang yang berbicara buruk dan menyerang Pandji. Saya yakin saya akan membela Pandji habis-habisan. Mengapa? Karena saya mengenal karya-karyanya sejak pertama kali dia menerbitkan buku dan menyelenggarakan special show. Saya melihat karyanya bertumbuh dan saya menyaksikan beribu-ribu orang rela membayar harga yang tidak murah demi menikmati karya Pandji. Saya pernah bekerja bersama dan berbicara banyak dengannya untuk akhirnya tahu bahwa dia bukan pribadi yang buruk. Dia seorang manusia yang sangat baik. He is my Indonesian hero. I make one my hero because he must be doing many good things for many people. Pandji is a very good and humble person. Jadi, ya. Saya akan membela Pandji habis-habisan.  It feels like I act as Pandji’s “Juru Bicara” and I don’t get paid for this. Meskipun demikian, saya tetap punya privilege untuk tidak membelanya ketika itu berbicara tentang inkonsistensi dirinya.

Saya tidak dibayar, tidak segitu dekat, tidak terikat kontrak apapun dengan Pandji. Kalau saya saja merasa sebegitu inginnya membela Pandji, apalagi Pandji terhadap Pak Anies. Pandji adalah seorang yang dekat dengan Pak Anies. Mereka berkenalan bertahun-tahun lalu dan Pandji sangat terinspirasi oleh ide-ide Pak Anies terkait pendidikan. Semua materi stand up specials Pandji yang mendapat standing ovations kebanyakan mengenai pendidikan Indonesia. That’s how inspired Pandji! Dan… hey, I can relate to this feeling! 🙂

Melihat banyak yang menyerang pribadi Pak Anies, saya yakin Pandji pun akan bergerak untuk pasang badan. Walau, sayangnya dengan menjadinya Pandji sebagai juru bicara resmi timses Pak Anies, maka Pandji kehilangan privilege yang saya miliki. Sejak ia diumumkan sebagai Juru Bicara Pak Anies, ia memiliki kontrak moral (he does not get paid, I believe) dan etika profesional untuk membela, memoles manis seluruh kegiatan yang dilakukan dan diutarakan oleh Pak Anies. Jika, tiba-tiba Pak Anies bilang, “kencing berdiri itu susah, ya, mending kencing sambil berlari!”, maka Pandji harus bisa menjelaskan logika kenapa kencing berlari itu ide yang revolusioner dan penting bagi warga pria Jakarta untuk mengikutinya. Dan perlu dibangun toilet yang mengakomodir ide ini, yaitu perlu dibangun urinoir yang lebar sehingga ketika kencingnya sambil berlari, air pipisnya tetap kena sasaran dan tidak belepotan ke lantai. Begitulah kira-kira maksudnya saya.
Bukan masalah kencing loh (kalau Anda mulai kehilangan arah), ini masalah Pandji sebagai juru bicara resmi harus tetap di belakang Pak Anies walau mungkin Pandji berbeda pendapat / tidak setuju dengan apa yang dilakukan/dikatakan Pak Anies.

It became explainable to me and also understandable (kalau memang mau memahami).

Semoga dengan tulisan ini, saya bisa membantu teman-teman untuk melihat hal ini dari berbagai sudut pandang sehingga kita menjadi lebih fair dalam menilai,
memberikan kritik atas apa yang memang harus dikritik,
belajar memberikan kritik tanpa harus menyerang pribadi orang lain,
belajar untuk menerima bahwa berbeda tidak berarti bermusuhkan,
dan belajar untuk agree to disagree.

Dan setelah mendapatkan insight ini, saya merasa lebih dapat memaklumi.
Dan saya mendapat sebuah pencerahan lagi: menjadi Juru Bicara politisi yang mencalonkan diri itu adalah pekerjaan yang paling susah, apalagi jadi juru bicaranya Donald Trump! Anj*ng!

 

 

Sincerely,

Jessica Farolan (seorang teman).

2 thoughts on “(Berusaha) Memahami Pandji

  1. Well written, sot…
    Got the whole point of what you said here…

    Masalahnya adalah, satu, komedi itu sifatnya sangat segmented. Ada yang bilang lucu, ada yang bilang nggak. Gw sampai hari ini masih menganggap Tukul tidak lucu, walau banyak orang menganggap demikian. Menurut gw Darto Danang lucu, namun tidak bagi orang lain. Begitu pun Pandji.

    Sorry to say, loe musti bisa terima kalo ada orang lain yang bilang karya2nya nggak lucu. Balik lagi, itu masalah selera.

    Tentang keputusan2 atau perbuatan2nya yang tidak konsisten belakangan ini, percayalah, gw juga kecewa. Orang-orang yang mengenalnya dekat pun, bisa jadi, juga kecewa. Gw bukan penikmat stand-up comedy-nya secara intens, tapi gw penikmat buku2nya secara konsisten. Salah satu bukunya bahkan sampai lecek saking seringnya gw baca 🙂

    My point is, mendengar bit2 Pandji, bisa jadi tidak mendapat gambaran utuh mengenai karakternya, namun, membaca buku2 berisi pemikiran dan pengalaman masa lalunya, bisa jadi memiliki gambaran yang lebih besar.

    Dan ya, apa yang gw baca bertolak belakang dengan apa yang gw lihat di media. That’s why, gw merasa ada penjelasan di baliknya, yang sampai sekarang belum gw ketahui. Better to wait, let time reveals…

    1. “Sorry to say, loe musti bisa terima kalo ada orang lain yang bilang karya2nya nggak lucu. Balik lagi, itu masalah selera.”

      Setuju dengan itu dan itu bukan poin tulisan saya. Sebagai stand up comedian, I understand this perfectly kok.
      Gw merasa terpanggil untuk membela karena hal yang mau dikritik adalah sikap soal politik tetapi jadi melebar ke selera komedi yang tidak berkaitan dan bahkan menyerang pribadi teman saya.

      “Dan ya, apa yang gw baca bertolak belakang dengan apa yang gw lihat di media. That’s why, gw merasa ada penjelasan di baliknya, yang sampai sekarang belum gw ketahui. Better to wait, let time reveals…”

      Justru itu tujuan saya menulis tulisan ini. Menambah informasi yang belum diketahui orang lain yang bukan temannya. More info is the better after all. 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s