Artikel ini sudah pernah dipublikasikan di kepribadianmu.com pada 2017.
Suatu hari, seorang teman datang kepada saya untuk curhat. Ia bercerita bahwa ia sedang merasa kesal dan kecewa terhadap sahabatnya, yang kita sebut saja dengan Tika. Dari deskripsi teman saya, Tika adalah seseorang yang sangat ramah, aktif, banyak senyum, pembuka obrolan di kala situasi membuat ia ‘mati gaya’. Karakteristik Tika inilah yang membuat teman saya cepat menjadi dekat dengannya. Tetapi, teman saya kemudian merasa Tika tidak tulus. Sampai akhirnya teman saya ini merasa seringkali dimanfaatkan dan ia menjadi kecewa terhadap Tika.
Cerita teman saya ini rasanya bukan cerita yang asing bagi kita. Mungkin kita pernah bertemu dengan orang-orang yang sepertinya sangat menarik dan selalu punya bahan pembicaraan ketika bertemu. Orang-orang yang kita pikir tidak bermasalah dalam menjalin hubungan. Namun ternyata orang-orang ini yang justru tidak memiliki hubungan berkualitas dengan orang lain yang sifatnya long-lasting.
Apabila dikaitkan dengan social intelligence, apakah orang-orang ini sebenarnya memiliki kecerdasan sosial yang tinggi?
Apabila memang dikatakan memiliki kecerdasan sosial yang tinggi karena mampu untuk bersosialisasi dengan baik, mengapa ia tidak mampu membangun hubungan yang berkualitas dan mempertahankannya?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita pahami dulu sedikit mengenai social intelligence. Artikel pertama saya di Kepribadianmu.com adalah tentang kecerdasan sosial sebagai potensi manusia yang tidak disadari. Dalam artikel tersebut, social intelligence atau kecerdasan sosial didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami perasaan, pikiran, dan perilaku orang lain dan bertindak secara tepat berdasarkan pemahaman tersebut. Kemampuan ini membuat seseorang memiliki hubungan yang baik dengan orang-orang di sekitarnya.
Dalam menjalin hubungan yang berkualitas, terdapat dua komponen dalam social intelligence yang memegang peran sangat besar. Kedua komponen tersebut adalah social awareness dan social facility.
Social awareness berbicara tentang bagaimana kita memahami orang lain dan apa yang ada lingkungan di sekitar. Kepekaan diri kita dalam memperhatikan norma dan aturan sosial yang berlaku juga termasuk dalam social awareness. Selain itu, ketepatan kita dalam berempati (empathy accuracy) adalah salah satu komponen social awareness.
Beberapa waktu lalu saya membahas ketepatan dalam berempati sebagai bagian dari social awareness. Ketepatan kita dalam menerjemahkan kebutuhan orang lain akan membantu kita memilih tindakan yang tepat atau yang benar-benar dibutuhkan oleh orang tersebut.
Namun demikian, hal itu baru modal dasarnya saja. Dengan kata lain, ketepatan berempati mengantarkan kita sampai kepada tindakan apa yang kita pilih. Bagaimana cara kita melakukan tindakan tersebut adalah hal lain lagi. Dan inilah yang disebut sebagai social facility.
Social facility memiliki empat elemen yang mampu membuat interaksi menjadi mulus, lancar, dan hangat. Elemen-elemen tersebut, antara lain:
- Synchrony (mengetahui kapan harus mengeluarkan respon tertentu, membangun kedekatan dan keakraban)
- Self-Presentation (bagaimana kita menampilkan diri sehingga orang lain memahami diri kita di situasi sosial)
- Influence (bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain dan memberikan pengaruh kita dengan sikap yang dapat diterima oleh orang di sekitar kita)
- Concern (peduli dan secara tepat bertindak sesuai dengan kebutuhan orang lain)
Tiga elemen pertama yang disebutkan membuat seseorang mampu untuk menampilkan dirinya dengan baik, mempengaruhi banyak orang, dan menciptakan percakapan yang hangat dan menarik dengan orang lain.
Namun, tanpa elemen concern atau kepedulian, interaksi atau hubungan yang dibangun menjadi kehilangan rasa tulus. Dan elemen ini hanya bisa menjadi baik ketika kita memiliki social awareness. Artinya, seseorang yang kita sebut memiliki kecerdasan sosial yang baik harus memiliki kedua komponen social awareness dan social facility. Bukan hanya salah satu.
Hal inilah yang membuat social intelligence bukan hanya ilmu tentang cara berkomunikasi yang baik, tetapi berbicara tentang bagaimana kita berinteraksi dengan tulus dengan pemahaman yang kita miliki. Atau dengan kata lain, social intelligence adalah ilmu psikologi tentang sebuah hubungan yang tulus.
Dan dengan pemahaman ini, kita sudah bisa menjawab pertanyaan tentang Tika di awal. Seseorang dengan kecerdasan sosial yang baik menggunakan pemahaman mengenai orang lain di sekitarnya untuk membangun sebuah hubungan yang tulus, dan bukan untuk memanfaatkan orang lain. Mari kita latih kecerdasan sosial kita sejak saat ini!
Sincerely,
Jessica Farolan.