Review: “Milly & Mamet (Ini bukan Cinta & Rangga)” | NO SPOILER

Waktu Cinta ngomong “BASI! Madingnya udah mau terbit!” dan berusaha nutupin buku pakai sepatu (dan entah mengapa bisa enggak keliatan), saya lagi duduk di kelas 2 SMP. Waktu itu saya lebih fokus ke tema persahabatan dibanding cinta-cintaan. Maklum, sekolah di sekolah perempuan semua kala itu sepertinya membuat saya telat naksir cowo. Nicsap baru terlihat menggiurkan waktu saya duduk di SMA (Yes, he is so handsome in GIE imho). Dan baru setelahnya saya kembali nonton Ada Apa Dengan Cinta lagi dan merasakan apa yang seharusnya dirasakan ketika nonton AADC (Yes, BASI!).

Tujuh belas tahun kemudian, muncul AADC 2. This movie is legendary and iconic. Tahu kenapa? Karena ketika muncul AADC 2, muncul pula sequel film jadul lainnya. Tapi, tidak ada yang sesukses AADC 2. Sebut saja Eiffel I’m in Love 2 yang sangat amat gagal membuat tokohnya bertumbuh. Tapi Cinta dan Rangga dengan suksesnya membuat semua orang lebih milih Yogya ketimbang Paris. Sukses juga membuat Miles membuat film “Milly & Mamet”. Continue reading “Review: “Milly & Mamet (Ini bukan Cinta & Rangga)” | NO SPOILER”

Kamu sudah bahagia? Yakin?

Saya masih ingat jelas ketika pertama kali saya submit ide saya untuk program #BeraniMengubah kategori Gaya Hidup & Kesehatan. Ide saya adalah edukasi mengenai bahaya depresi kepada masyarakat (mengingat WHO saat itu mengumumkan Depresi sebagai sebuah krisis global). Ide ini adalah salah satu saran yang saya tulis di skripsi saya; yang artinya topik depresi dan kesehatan mental adalah concern utama saya saat itu. Ide saya menang. Tetapi selama penggodokan, ide tersebut disarankan untuk dibungkus dengan sesuatu yang lebih menarik, yaitu mengubah topik ke arah happiness (instead of something dark like depression).

Menarik. Tapi sulit. Sulit karena happiness is a common sense. I never really read a scientific journal regarding happiness before. Kata bahagia lebih sering saya temukan di buku motivasi ketimbang buku-buku ilmiah, saat itu setidaknya. I was thinking like, “If you want to be happy, just do something that makes you happy. As simple as that”. Kalau makan bisa bikin bahagia, ya makan. Kalau nonton stand up comedy bisa bikin seneng ya nonton. Kadang seneng dan kadang sedih itu ya memang hidup. Sesederhana itu. Bahagia itu ya common sense. Bukan sesuatu yang ilmiah dan ada ilmunya, layaknya leadership atau public speaking.

And that is where I was wrong. Salah banget, karena ternyata ada ilmunya. Salah banget, karena kita bisa kok merasa bahagia terus kalau tahu caranya. Continue reading “Kamu sudah bahagia? Yakin?”

(Berusaha) Memahami Pandji

Hari ketiga di tahun 2017 saya diwarnai dengan perasaan sedih. I woke up and I found my name being mentioned on Facebook by my friend. Ternyata saya dimintai pendapat mengenai sebuah artikel yang menyebutkan 3 nama yang mencuat akhir-akhir ini terkait Pilkada; Pak Anies Baswedan, FPI, Pandji Pragiwaksono. Beritanya menggambarkan ketidakkonsistenan yang dilakukan oleh yang terakhir terkait sikapnya terhadap FPI. Setelah itu saya tidak langsung membalas. Saya melihat timeline Facebook saya penuh dengan berita senada yang menyebutkan 3 nama tadi. Saya terus melihat secara selintas dan saya perhatikan cukup banyak tulisan artikel yang tidak hanya menekankan kepada ketidakkonsistenan Pandji, tetapi juga mengatakan hal negatif mengenai stand up comedy yang dilakukannya.

I feel sad and hurt by their opinions about Pandji. He is my friend. Entah apakah Pandji juga menganggap demikian but well I consider him as my friend. We know each other since 6 years ago, he was my mentor while I am competing in a stand up comedy competition and Pemuda #BeraniMengubah, we worked together in some events. Dia orang yang mendukung saya walaupun saya dieliminasi. He is my Indonesian hero. I know him, I look up to him, and I consider him as a friend of mine. And I don’t want people talking bad about my friend.

Yes, I know how some people feel about him right now.
Ketika pertama kali berita tentang Pandji sebagai Juru Bicara dan TimSes Pak Anies saya mungkin salah satu orang yang kaget.
Ketika menonton Pandji di Mata Najwa Episode Jurus Bela Kandidat, saya mungkin salah satu orang yang merasa kecewa.
Ketika saya menemukan pertanyaan-penyataan yang terasa berbeda dulu dan kini, saya mungkin adalah salah satu orang yang merasa ironi dan miris.
Ketika Pandji menggunakan istilah bully, mungkin saya salah satu orang yang tidak setuju karena penggunaan term tersebut tidak tepat.
What do I do then? I only try to rationalise things so I can make myself less feeling disappointed or upset.
But yesterday, one realization hit me.

Ketika kemarin pagi semua orang mengkritik ketidakkonsistenan yang Pandji lakukan dan menyebutnya penjilat ludah, saya sedih. Tetapi saya tidak bisa melakukan apapun karena ketidakkonsistenan yang ada tetaplah sebuah ketidakkonsistenan; sebuah fakta yang tidak bisa saya sanggah. Bahkan saya setuju dengan beberapa pendapat mereka tersebut.

Namun demikian, ketika banyak orang mulai menyerang Pandji sebagai seorang stand up comedian yang tidak lucu, jayus, tidak berbakat. Ketika banyak orang mulai menghina karya Pandji. Banyak menghina Pandji sebagai individu dengan label yang buruk, saya terpanggil untuk membela seorang teman. Kalau saat ini, di depan mata saya, ada satu orang yang berbicara buruk dan menyerang Pandji. Saya yakin saya akan membela Pandji habis-habisan. Mengapa? Karena saya mengenal karya-karyanya sejak pertama kali dia menerbitkan buku dan menyelenggarakan special show. Saya melihat karyanya bertumbuh dan saya menyaksikan beribu-ribu orang rela membayar harga yang tidak murah demi menikmati karya Pandji. Saya pernah bekerja bersama dan berbicara banyak dengannya untuk akhirnya tahu bahwa dia bukan pribadi yang buruk. Dia seorang manusia yang sangat baik. He is my Indonesian hero. I make one my hero because he must be doing many good things for many people. Pandji is a very good and humble person. Jadi, ya. Saya akan membela Pandji habis-habisan.  It feels like I act as Pandji’s “Juru Bicara” and I don’t get paid for this. Meskipun demikian, saya tetap punya privilege untuk tidak membelanya ketika itu berbicara tentang inkonsistensi dirinya.

Saya tidak dibayar, tidak segitu dekat, tidak terikat kontrak apapun dengan Pandji. Kalau saya saja merasa sebegitu inginnya membela Pandji, apalagi Pandji terhadap Pak Anies. Pandji adalah seorang yang dekat dengan Pak Anies. Mereka berkenalan bertahun-tahun lalu dan Pandji sangat terinspirasi oleh ide-ide Pak Anies terkait pendidikan. Semua materi stand up specials Pandji yang mendapat standing ovations kebanyakan mengenai pendidikan Indonesia. That’s how inspired Pandji! Dan… hey, I can relate to this feeling! 🙂

Melihat banyak yang menyerang pribadi Pak Anies, saya yakin Pandji pun akan bergerak untuk pasang badan. Walau, sayangnya dengan menjadinya Pandji sebagai juru bicara resmi timses Pak Anies, maka Pandji kehilangan privilege yang saya miliki. Sejak ia diumumkan sebagai Juru Bicara Pak Anies, ia memiliki kontrak moral (he does not get paid, I believe) dan etika profesional untuk membela, memoles manis seluruh kegiatan yang dilakukan dan diutarakan oleh Pak Anies. Jika, tiba-tiba Pak Anies bilang, “kencing berdiri itu susah, ya, mending kencing sambil berlari!”, maka Pandji harus bisa menjelaskan logika kenapa kencing berlari itu ide yang revolusioner dan penting bagi warga pria Jakarta untuk mengikutinya. Dan perlu dibangun toilet yang mengakomodir ide ini, yaitu perlu dibangun urinoir yang lebar sehingga ketika kencingnya sambil berlari, air pipisnya tetap kena sasaran dan tidak belepotan ke lantai. Begitulah kira-kira maksudnya saya.
Bukan masalah kencing loh (kalau Anda mulai kehilangan arah), ini masalah Pandji sebagai juru bicara resmi harus tetap di belakang Pak Anies walau mungkin Pandji berbeda pendapat / tidak setuju dengan apa yang dilakukan/dikatakan Pak Anies.

It became explainable to me and also understandable (kalau memang mau memahami).

Semoga dengan tulisan ini, saya bisa membantu teman-teman untuk melihat hal ini dari berbagai sudut pandang sehingga kita menjadi lebih fair dalam menilai,
memberikan kritik atas apa yang memang harus dikritik,
belajar memberikan kritik tanpa harus menyerang pribadi orang lain,
belajar untuk menerima bahwa berbeda tidak berarti bermusuhkan,
dan belajar untuk agree to disagree.

Dan setelah mendapatkan insight ini, saya merasa lebih dapat memaklumi.
Dan saya mendapat sebuah pencerahan lagi: menjadi Juru Bicara politisi yang mencalonkan diri itu adalah pekerjaan yang paling susah, apalagi jadi juru bicaranya Donald Trump! Anj*ng!

 

 

Sincerely,

Jessica Farolan (seorang teman).

Sepenggal Cerita Tentang Pilihan Saya

“Tulis dong sesuatu tentang Pilkada”.

Ini adalah kalimat yang beberapa kali terlontar dari mulut rekan kerja saya sejak Teman Ahok mulai mengumpulkan KTP demi Ahok bisa menjadi Cagub. Artinya sudah sejak beberapa bulan yang lalu. Jujur, saya malas menulis tentang Pilkada. Bukan karena saya tidak mendukung atau antipati terhadap hal ini. Saya merasa saat itu sudah ada teman-teman lainnya yang mendukung dan bersuara lantang di social media. Jadi, saya hanya sering mengklik “share” dari facebook orang lain saja.

Lantas, apa yang membuat saya pada akhirnya menulis juga?

Bukan karena demonstrasi 4 November lalu. Tulisan ini bebas isu agama dan SARA.
Saya menjadi ingin menulis setelah menonton “Mata Najwa” episode “Jurus Bela Kandidat” dan mendengarkan beberapa statement yang dilontarkan oleh Pandji dan Pak Ferry Juliantono.

Sebelum saya membahas statement yang dilontarkan, saya ingin menyampaikan beberapa hal terlebih dahulu sehingga Anda yang membaca tulisan ini menjadi paham maksud dan tujuan tulisan saya.
Pertama-tama, tulisan ini bukan untuk menyanggah apalagi menyerang statement yang dilontarkan oleh Pandji dan Pak Ferry Juliantono. Saya tidak mengenal Pak Ferry Juliantono, tetapi saya mengenal Pandji. Pandji is someone I look up to dalam hal stand up comedy (bahkan setelah saya tidak lagi aktif sebagai stand up comedian), karakter, dan banyak hal lainnya. Statement yang dilontarkan tidak menghilangkan kekaguman yang saya miliki terhadap Pandji. Hal ini hanya berarti pandangan / apa yang kami lihat kali ini berbeda. Dan tulisan ini bertujuan untuk melengkapi informasi yang ada dengan pengalaman yang saya miliki.
Dan, ya, dengan dipublikasikannya tulisan ini berarti saya secara terbuka mendukung Cagub nomor 2. 🙂

Ada banyak hal yang dibahas di episode Mata Najwa mengenai Ahok oleh Pandji dan Pak Ferry Julianto (sebagai jubir Pak Anies Baswedan), serta oleh jubir Ahok juga. Tetapi dalam tulisan ini saya ingin fokus kepada 2 hal saja, yakni perihal banjir dan juga birokrasi yang lebih bersih.
Kenapa hanya dua hal itu?
Karena saya merasakan langsung dampaknya secara pribadi, bukan kata orang. Sesederhana itu.

Pertama, masalah banjir.

Sejak tahun 2002, saya tidak mengalami kesulitan untuk menjelaskan dimana saya tinggal ketika berkenalan dengan orang yang tinggal di luar Jakarta: “Saya tinggal di Jatinegara. Enggak tahu ya? Itu loh, deket Kampung Pulo. Yang tiap Februari-Maret selalu muncul di TV (karena banjir)”.
Iya, sejak 2002. Selama kurang lebih 13 tahun daerah itu banjir PARAH. Rumah saya memang tidak digenangi air. Tapi saya ibarat tinggal di Pulau Samosir! Rumah saya kering, tapi dikelilingi air. Saya tetap tidak bisa kemana-mana.

Dan tahun ini untuk pertama kalinya TIDAK BANJIR!!!! 

Hal itu terjadi semenjak proses relokasi selesai dilakukan. Saya enggan menggunakan kata menggusur karena maknanya buruk. Saya lebih suka menggunakan kata relokasi. Nyatanya, yang dilakukan Ahok memang memindahkan warga yang tinggal di pinggiran kali ke Rusun. Rusunnya dekat dengan rumah saya. Lalu kondisi pinggiran kali?
Saya sudah 5 kali menyusuri jalan itu. Sebelumnya, sama sekali tidak ada jalan karena penuh dengan rumah kumuh yang sekitarnya banyak sekali sampah bau. Sekarang jalannya menjadi nyaman, bisa menikmati pinggiran kali yang sudah bersih, diperbaiki, dan tidak lagi berbau. Ini foto yang tadi pagi saya ambil ketika saya melewati pinggiran kali:

Pinggiran Kali Ciliwung

 

Kedua, masalah birokrasi yang bersih.

Ibu saya adalah seorang Notaris PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Pekerjaannya membuat Ibu saya harus mengurus beberapa hal terkait jual beli tanah, pembuatan PT/CV/Yayasan, perihal warisan, dan lainnya. Hal ini membuat ia seringkali datang ke kantor pajak, BPN, kelurahan, kehakiman, dan sebagainya. Ibu saya merasa sangat aman dengan birokrasi sekarang yang lebih rapi dan bersih.

Mungkin Anda bertanya-tanya, lah itu kan Ibu saya? Apa dampaknya ke saya?

Selama setidaknya 15 tahun, saya seringkali mendapati Ibu saya pulang ke rumah marah-marah karena dia harus menghabiskan waktu berjam-jam (misalnya di kelurahan) dan setelah satu minggu dia harus kembali menghabiskan waktu berjam-jam untuk satu pekerjaan yang sama yang tidak kunjung beres. Belum lagi adanya biaya pengurusan yang rasanya diada-adakan (dan jumlahnya tidak sedikit).

Kesal kan?

Dan tebak siapa yang begitu sampai rumah kena damprat?
Iya saya lah!! Selama 15 tahun!!

Tapi saya bisa memahami mengapa Ibu saya dulu marah-marah dan setahun belakangan ini menjadi sangat senang. Iya, senang sampai dia bisa pulang dengan teriak keras

“Waduh!!! Sekarang pada takut sama Ahok!!! Ga ada yang berani macem-macem! Semua urusan cepet!!”

Pertama, semua pengurusan menjadi jauh lebih cepat. Semenjak Ahok menjadi tegas dan keras perihal birokrasi yang rapi dan bersih, pengurusan beberapa hal yang biasanya membutuhkan waktu satu bulan menjadi hanya butuh 1 hari atau maksimaaal banget 3 hari. Bayangkan, 30 hari menjadi 3 hari saja. Durasi yang berkurang sangat amat signifikan. Selain cepat, semua birokrasi juga menjadi lebih rapi kata Ibu saya. Sebagai orang yang pernah berurusan dengan birokrasi organisasi mahasiswa, saya bisa membayangkan bagaimana senangnya kalau segala urusan birokrasi lancar.
Kedua, bebas pungutan liar. Ibu saya pernah bilang, untuk mengurus domisili PT dia diharuskan membayar sekitar 1 juta Rupiah padahal seharusnya GRATIS!!! Menurut Ibu saya, sejak Ahok sering meninjau dan selalu memantau, tidak ada lagi yang berani dan Ibu saya tidak lagi pernah membayar hal-hal yang tidak seharusnya dibayarkan.

Ini hanya sedikit cerita tentang apa yang membuat saya ingin memilih Bapak Basuki Tjahja Purnama kembali.
Ini pertama kalinya saya merasa pilihan saya tepat tanpa harus diingatkan oleh pelayan restaurant. Ini pertama kalinya saya merasa ingin memilih karena saya yakin 100% terhadap pilihan saya (bahkan saya hanya merasa yakin sekitar 90% ketika memilih Jokowi – Maaf ya Pak Jokowi, tapi saya nge-fans dengan Bapak kok!).
Oleh karena itu, saya merasa saya harus berbagi lewat tulisan ini.

I hope we choose the right person to lead this city. Salam 2 jari!

Ingat.
Baper itu cukup untuk milih pacar aja. Milih Gubernur harus pakai logika.

Peace out.

 

Sincerely,
Jessica Farolan
(warga DKI Jakarta yang ingin sekali berfoto dengan Pak Basuki Tjahaja Purnama)

I’m not good enough, yet. So I’ll learn better.

I’m not saying this as a pessimist.
I’m saying this because I think I just find out the right attitude to become better.

I realized one thing recently, that I complained a lot. Though I learn many things, I learn after complaining. Which usually takes energy, emotions, and a lot of time.

But, today after thinking about it for hours, I came to one realization.
“If my senior (the one who has more experiences and is wiser) was not complaining while he and I were in the same damned situation…. Then, I should not be complaining and learn why my senior does not complain”.
Why?
Simple. He is called senior because he has more experiences that made him think that situation is not damned at all. It’s a piece of cake for him. While it is a big piece of cake for me. I need to learn what makes the cake is just another piece for him. That way, I learn and I become better.

And. I’m not good enough, yet. Because I think I just ate quite a big cake.
But I do believe that it will become another piece of a cake later.

 

Sincerely,

Jessica Farolan (ready to eat more big cakes).

[Himbauan] Berhati-hati Dalam Mengisi Survey Terkait Isu Sensitif.

Selamat sore teman-teman!

Melalui Facebook notes ini saya ingin menghimbau teman-teman untuk berhati-hati dalam mengisi kuesioner.

Sebelumnya, biarkan saya sedikit bercerita mengenai pengalaman saya.

Sore ini saya baru saja mengkonfrontasi seorang pria muda yang nampaknya sedang menyebarkan kusioner yang berjudul “SURVEY SEPUTAR WANITA”. Survey ini berisikan pertanyan-pertanyaan tentang aktivitas masturbasi yang dilakukan oleh wanita.

Survey-nya aneh, karena:

Continue reading “[Himbauan] Berhati-hati Dalam Mengisi Survey Terkait Isu Sensitif.”

Forgive. And you are free.

I was once thinking that death would set us free. It was the easiest way to get rid all of your pain.

Itu dulu mikirnya begitu; makanya kalimat di atas pakai past tense. Sekarang beda.

Now, I understand perfectly that forgiving will set you free. It will bring you peace.

Death might be the easiest way. It will set you free (may be yes, may be no. I don’t know. I decided to stay alive years ago).
But forgiving will not only set you free. It will give you peace, lessen your enemies, bring back your life to happy state.

“But, how can you be so sure? How do you know?” 

Nothing better than the experiences of a prisoner who is now freed.

 

Sincerely,
Jessica Farolan (ex-prisoner).