“Tulis dong sesuatu tentang Pilkada”.
Ini adalah kalimat yang beberapa kali terlontar dari mulut rekan kerja saya sejak Teman Ahok mulai mengumpulkan KTP demi Ahok bisa menjadi Cagub. Artinya sudah sejak beberapa bulan yang lalu. Jujur, saya malas menulis tentang Pilkada. Bukan karena saya tidak mendukung atau antipati terhadap hal ini. Saya merasa saat itu sudah ada teman-teman lainnya yang mendukung dan bersuara lantang di social media. Jadi, saya hanya sering mengklik “share” dari facebook orang lain saja.
Lantas, apa yang membuat saya pada akhirnya menulis juga?
Bukan karena demonstrasi 4 November lalu. Tulisan ini bebas isu agama dan SARA.
Saya menjadi ingin menulis setelah menonton “Mata Najwa” episode “Jurus Bela Kandidat” dan mendengarkan beberapa statement yang dilontarkan oleh Pandji dan Pak Ferry Juliantono.
Sebelum saya membahas statement yang dilontarkan, saya ingin menyampaikan beberapa hal terlebih dahulu sehingga Anda yang membaca tulisan ini menjadi paham maksud dan tujuan tulisan saya.
Pertama-tama, tulisan ini bukan untuk menyanggah apalagi menyerang statement yang dilontarkan oleh Pandji dan Pak Ferry Juliantono. Saya tidak mengenal Pak Ferry Juliantono, tetapi saya mengenal Pandji. Pandji is someone I look up to dalam hal stand up comedy (bahkan setelah saya tidak lagi aktif sebagai stand up comedian), karakter, dan banyak hal lainnya. Statement yang dilontarkan tidak menghilangkan kekaguman yang saya miliki terhadap Pandji. Hal ini hanya berarti pandangan / apa yang kami lihat kali ini berbeda. Dan tulisan ini bertujuan untuk melengkapi informasi yang ada dengan pengalaman yang saya miliki.
Dan, ya, dengan dipublikasikannya tulisan ini berarti saya secara terbuka mendukung Cagub nomor 2. 🙂
Ada banyak hal yang dibahas di episode Mata Najwa mengenai Ahok oleh Pandji dan Pak Ferry Julianto (sebagai jubir Pak Anies Baswedan), serta oleh jubir Ahok juga. Tetapi dalam tulisan ini saya ingin fokus kepada 2 hal saja, yakni perihal banjir dan juga birokrasi yang lebih bersih.
Kenapa hanya dua hal itu?
Karena saya merasakan langsung dampaknya secara pribadi, bukan kata orang. Sesederhana itu.
Pertama, masalah banjir.
Sejak tahun 2002, saya tidak mengalami kesulitan untuk menjelaskan dimana saya tinggal ketika berkenalan dengan orang yang tinggal di luar Jakarta: “Saya tinggal di Jatinegara. Enggak tahu ya? Itu loh, deket Kampung Pulo. Yang tiap Februari-Maret selalu muncul di TV (karena banjir)”.
Iya, sejak 2002. Selama kurang lebih 13 tahun daerah itu banjir PARAH. Rumah saya memang tidak digenangi air. Tapi saya ibarat tinggal di Pulau Samosir! Rumah saya kering, tapi dikelilingi air. Saya tetap tidak bisa kemana-mana.
Dan tahun ini untuk pertama kalinya TIDAK BANJIR!!!!
Hal itu terjadi semenjak proses relokasi selesai dilakukan. Saya enggan menggunakan kata menggusur karena maknanya buruk. Saya lebih suka menggunakan kata relokasi. Nyatanya, yang dilakukan Ahok memang memindahkan warga yang tinggal di pinggiran kali ke Rusun. Rusunnya dekat dengan rumah saya. Lalu kondisi pinggiran kali?
Saya sudah 5 kali menyusuri jalan itu. Sebelumnya, sama sekali tidak ada jalan karena penuh dengan rumah kumuh yang sekitarnya banyak sekali sampah bau. Sekarang jalannya menjadi nyaman, bisa menikmati pinggiran kali yang sudah bersih, diperbaiki, dan tidak lagi berbau. Ini foto yang tadi pagi saya ambil ketika saya melewati pinggiran kali:

Kedua, masalah birokrasi yang bersih.
Ibu saya adalah seorang Notaris PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Pekerjaannya membuat Ibu saya harus mengurus beberapa hal terkait jual beli tanah, pembuatan PT/CV/Yayasan, perihal warisan, dan lainnya. Hal ini membuat ia seringkali datang ke kantor pajak, BPN, kelurahan, kehakiman, dan sebagainya. Ibu saya merasa sangat aman dengan birokrasi sekarang yang lebih rapi dan bersih.
Mungkin Anda bertanya-tanya, lah itu kan Ibu saya? Apa dampaknya ke saya?
Selama setidaknya 15 tahun, saya seringkali mendapati Ibu saya pulang ke rumah marah-marah karena dia harus menghabiskan waktu berjam-jam (misalnya di kelurahan) dan setelah satu minggu dia harus kembali menghabiskan waktu berjam-jam untuk satu pekerjaan yang sama yang tidak kunjung beres. Belum lagi adanya biaya pengurusan yang rasanya diada-adakan (dan jumlahnya tidak sedikit).
Kesal kan?
Dan tebak siapa yang begitu sampai rumah kena damprat?
Iya saya lah!! Selama 15 tahun!!
Tapi saya bisa memahami mengapa Ibu saya dulu marah-marah dan setahun belakangan ini menjadi sangat senang. Iya, senang sampai dia bisa pulang dengan teriak keras
“Waduh!!! Sekarang pada takut sama Ahok!!! Ga ada yang berani macem-macem! Semua urusan cepet!!”
Pertama, semua pengurusan menjadi jauh lebih cepat. Semenjak Ahok menjadi tegas dan keras perihal birokrasi yang rapi dan bersih, pengurusan beberapa hal yang biasanya membutuhkan waktu satu bulan menjadi hanya butuh 1 hari atau maksimaaal banget 3 hari. Bayangkan, 30 hari menjadi 3 hari saja. Durasi yang berkurang sangat amat signifikan. Selain cepat, semua birokrasi juga menjadi lebih rapi kata Ibu saya. Sebagai orang yang pernah berurusan dengan birokrasi organisasi mahasiswa, saya bisa membayangkan bagaimana senangnya kalau segala urusan birokrasi lancar.
Kedua, bebas pungutan liar. Ibu saya pernah bilang, untuk mengurus domisili PT dia diharuskan membayar sekitar 1 juta Rupiah padahal seharusnya GRATIS!!! Menurut Ibu saya, sejak Ahok sering meninjau dan selalu memantau, tidak ada lagi yang berani dan Ibu saya tidak lagi pernah membayar hal-hal yang tidak seharusnya dibayarkan.
Ini hanya sedikit cerita tentang apa yang membuat saya ingin memilih Bapak Basuki Tjahja Purnama kembali.
Ini pertama kalinya saya merasa pilihan saya tepat tanpa harus diingatkan oleh pelayan restaurant. Ini pertama kalinya saya merasa ingin memilih karena saya yakin 100% terhadap pilihan saya (bahkan saya hanya merasa yakin sekitar 90% ketika memilih Jokowi – Maaf ya Pak Jokowi, tapi saya nge-fans dengan Bapak kok!).
Oleh karena itu, saya merasa saya harus berbagi lewat tulisan ini.
I hope we choose the right person to lead this city. Salam 2 jari!
Ingat.
Baper itu cukup untuk milih pacar aja. Milih Gubernur harus pakai logika.
Peace out.
Sincerely,
Jessica Farolan
(warga DKI Jakarta yang ingin sekali berfoto dengan Pak Basuki Tjahaja Purnama)
Like this:
Like Loading...