Positive Genius & Stand Up Comedy

Biarkan saya memulai tulisan ini dengan mengeluh tentang motivator.

Pernah tidak datang ke seminar motivasi? Pernah liat motivatior yang cara naik ke panggungnya lari-lari dari samping panggung sambil teriak-teriak “SEMANGAT PAGI????!!!! APA KABARNYA PAGI INI SODARA-SODARA SEKALIAN????!!!! LUAR BIASA!!!! SEKALI LAGI!!! APA KABARNYA PAGI INI SODARA-SODARAAAAA????!!!! LUUUUAAAAARRR BIIIIIAAAASAAAAAA” ?

Satu, kenapa harus lari?
Dua, kenapa harus teriak-teriak sih???

Tapi yang paling bikin saya gerah bukan pembukaannya. Saya gerah dengan kalimat-kalimat mutiara positif yang mereka ucapkan. Gerah dengan kalimat mutiara yang senada dengan “badai pasti berlalu”.

Satu, ya badai pasti berlalu. Tapi belum tentu juga lu selamat dari badai.
Dua, basi.
Tiga, klise.

Klise. Sama klisenya dengan nasihat yang sering kita dengar dari ucapan A waktu tahu B diputusin pacarnya: “semuanya pasti baik-baik saja”. Padahal B lagi hamil 3 bulan.

Optimis yang delusional.

Dan berhubung salah satu pekerjaan saya membuat saya terkadang menjadi motivator untuk anak-anak SMP dan SMA, saya akan menggunakan salah satu bahan mereka kalau mau membahas tentang optimis. Mari lihat gambar di bawah ini. Continue reading “Positive Genius & Stand Up Comedy”

Balanced Online & Offline Life

Beberapa waktu lalu, saya dan teman-teman di Aethra Learning Center sempat menerima sebuah tawaran kerja sama dengan SMP Santa Maria Juanda untuk memberikan pelatihan kepada siswa/i mereka tentang penggunaan internet dan social media. Selama membuat materi pelatihan, saya jadi bernostalgia hal-hal jadul banget.

Dulu itu, saya cuma bisa main internet setiap hari Sabtu. Biasanya sih jam 4 sore sampai jam 7 malam. Kalau orang tua lagi pergi, bisa lah sampai jam 8 malam. Kenapa gitu? Soalnya, dulu itu kalau kita mau pakai internet, telepon kita mati. Jadi kudu milih-milih waktu yang pas, jam-jam di mana orang rumah jarang dapet telepon. Beda banget kan sama sekarang? Kalau dulu mau akses internet, saya harus nyamperin komputer. Kalau sekarang, saya bisa akses internet dimanapun dan kapanpun, via handphone.

Selama saya buat materi pelatihan tadi, saya juga jadi paham kalau sebenernya kita ini bukan hanya punya kewarganegaraan seseuai tanah kelahiran. Kita juga menjadi seorang warga negara digital. Banyak sekali pelatihan di luar negri tentang hal ini supaya masyarakat sadar bahwa kita hidup di sebuah era digital dan kita semua warga negara digital. Jadi, ada kehidupan kita sebagai warga negara digital (kehidupan online) dan kehidupan kita sebagai warga negara (misalnya) Indonesia (kehidupan offline). Continue reading “Balanced Online & Offline Life”

Stop saying "Gue galau"

Orang yang berhasil adalah orang yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi cerdas secara emosi. Kecerdasan emosi sering kita kenal dengan sebutan Emotional Intelligence. Orang yang cerdas secara emosi mampu untuk mengenali emosi yang sedang dirasakan dan memanfaatkannya untuk membina hubungan yang positif dengan orang-orang di sekitarnya. Sudah dibuktikan bahwa membina hubungan yang baik atau membangun sebuah social network berperan penting dalam membangun karier. Itulah mengapa orang yang cerdas secara emosi lebih mungkin memiliki karier yang lebih baik dibandingkan orang yang hanya cerdas secara intelektual.

Mengenali emosi yang dirasakan adalah sebuah kebutuhan yang cukup mendasar. Mengapa? Dengan mengenali emosi, kita menjadi tahu apa yang harus kita lakukan di sikon yang ada. Apabila kita tidak dapat mengenali emosi kita dengan baik atau salah me-label emosi, tentu tindakan yang kita ambil juga tidak tepat. Misalnya, kalau kita tahu kalau kita sedang sedih, kita menjadi tahu apa yang harus dilakukan agar kita tidak lagi sedih. Kalau kita marah tapi salah melabel perasaan marah tersebut dengan sedih, maka percuma kita menangis… karena mungkin yang kita butuhkan bukan menangis, tapi teriak-teriak misalnya.

Continue reading “Stop saying "Gue galau"”

Psikologi & Stand Up Comedy

Dulu di awal saya dan teman-teman mendirikan @StandUpAtma, saya sempat insist sekali membuat stand up khusus psikologi. Saya insist dengan alasan bahwa saya ingin memberi banyak kesempatan kepada anak psikologi untuk mengasah keterampilan berpikir kritis, yang seharusnya dan wajib dimiliki anak psikologi. It’s a need. Dan berhubung para calon pendiri waktu itu adalah anak psikologi… saya berpikir mengapa tidak memberikan kesempatan eksklusif kepada anak psikologi. Tapi, kemudian teman-teman setuju dengan membuka kesempatan kepada satu kampus, tidak hanya psikologi. Saya bukan tidak setuju. Jadi, saya tidak berkeberatan sama sekali membuka kesempatan kepada Atma Jaya, satu kampus. Baru saat ini saya berpikir bahwa ada kaitan yang erat antara psikologi dan stand up comedy. Continue reading “Psikologi & Stand Up Comedy”

5 Languages of Apology

Kemarin, di Aethra’s Books Day, rekan saya (Anita Rijadi) membahas sebuah buku yang berjudul 5 Languages Of Apology. Begitu mendengar judulnya, saya langsung tertarik. Sebelumnya, saya pernah membaca tentang 5 Languages Of Love dan mendapati bahwa buku ini menarik. Jadi, saya dengan cepat menyimpulkan bahwa buku yang akan dibahas rekan saya tersebut juga pasti tidak kalah menariknya dari apa yang pernah saya baca.

Di buku, 5 Languages Of Love, saya menemukan bahwa kita memiliki bahasa kasih yang dominan dalam diri kita. Bahasa ini yang kita gunakan untuk berkomunikasi dengan pasangan kita dan apa yang kita harapkan dari pasangan kita. Misalnya, saya adalah seorang wanita dengan bahasa kasih “quality time”. Maka saya akan lebih senang ketika pasangan saya menghabiskan banyak waktu bersama dan melakukan sesutu hal bersama, daripada pasangan saya memberikan hadiah atau memuji saya atau memeluk saya. Ketika pasangan saya tidak mengerti bahwa bahasa kasih saya adalah demikian dan jauh lebih sering memberi hadiah ketimbang meluangkan waktu bersama saya, maka mungkin saya akan merasa kurang diperhatikan atau kurang mendapatkan afeksi.

Demikian juga dengan 5 language of apology. Terdapat 5 bahasa permintaan maaf, yaitu pernyataan menyesal, tanggung jawab, tebusan, bertobat, dan permohonan ampun. Continue reading “5 Languages of Apology”

What about virginity?

Sesuai janji, walau ngaret, gue akan berbicara tentang virginitas. Agak berat, tapi gue berusaha untuk menjelaskan dengan bahasa yang ringan. Dan tulisan ini tentunya tidak sempurna (karena sempurna hanya milik Gusti Allah dan Andra & The Backbone kalau kata Soleh solihun), tapi semoga tulisan ini tetap bisa memberikan insight bagi siapapun yang membaca. =)

“Kenapa sih lu harus takut untuk putus sama pacar lu karena masalah virginitas?”

Pertanyaan ini beberapa kali gue tanyakan, tapi hanya di dalam hati. Kenapa hanya dalam hati? Karena kadang ketika orang bercerita tentang hal tersebut ke gue, mereka bercerita sambil menangis dalam penyesalan dan biasanya mereka sedang dalam masa katarsis. Jadi biasanya belum waktunya gue tanyakan hal itu.

Ya, biasanya.

Gue sudah beberapa kali mengkonselingi dewasa muda yang tengah bimbang dengan hubungannya dengan pacar; mau putus tapi udah gak virgin lagi… tapi kalau tetap dipertahankan, kok rasanya pacarannya udah gak sehat lagi (baca: berantem mulu, udah gak ada feeling lagi, cowoknya udah flirt sama cewek lain, dsb). Beberapa kali juga gue (dan gue juga tahu temen gue yang lain yang) dimintai pendapat terkait hal ini oleh orang lain yang mengkonselingi temannya yang memiliki masalah serupa.
Pertanyaan tadi kerap muncul.
Ya, gue tahu. Situasi yang gue gambarkan tadi rasanya berat dan kita hidup di budaya yang cukup men-judge virgintas sebagai sebuah hal yang saklek, sebagai sesuatu yang menandakan karakter seseorang. Kalau seorang perempuan kehilangan virginitas sebelum menikah, mungkin ia akan dicap sebagai perempuan tidak baik. Dan sayangnya, judgment itu beratnya lebih terasa di perempuan terkadang.
Sebelum lanjut, ada baiknya kita mengenal virginitas itu apa.

Continue reading “What about virginity?”

About Grief

Tahun 2012, katanya bakal kiamat? I personally believe that it is true but not literally. Artinya, gue percaya bahwa satu fase dalam kehidupan akan berakhir dan berganti dengan yang baru hingga akhirnya semua hal di dunia adalah sesuatu yang baru. Bisa jadi artinya survival of the fittest (yang bertahan hidup akan tetap hidup dan yang lainnya pergi meninggalkan dunia), bisa jadi artinya you meet your lowest point in your life, hancur, dan pada akhirnya memulai segalanya dengan hidup baru. Dua poin ini gue dapatkan dari sebuah sumber bacaan yang gue lupa (karena lebih dari satu sumber) tapi mereka mencoba menjelaskan tentang ramalan suku maya lewat tulisan-tulisan mereka. Untuk poin pertama… Dua bulan di tahun 2012 cukup membuktikan sejauh ini. I received a lot of death news. Yes, a lot (total 12 berita dalam 2 bulan adalah angka yang cukup signifikan untuk gue). Berita kematian yang datang dari orang yang secara langsung memiliki ikatan pertemanan dengan gue, hingga yang secara tidak langsung tetapi terkait dengan orang yang gue kenal cukup baik. Sedangkan untuk poin kedua sendiri, I’ve experienced it myself.

Kedua poin yang gue sebutkan di atas (menurut gue) tidak bisa lepas dari apa yang disebut sebagai proses grieving (berduka). Kubler Ross mengatakan bahwa grieving memiliki 5 tahap; denial, anger, bargaining, depression, acceptance. Jadi, seseorang yang grieving pada awalnya akan mengalami tahapan denial, menyangkal bahwa ia tidak kehilangan, biasanya mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Then it will hit him and he will realize that he was left. Dia akan merasa marah dan menyalahkan banyak hal; diri sendiri, atau lingkungannya, atau bahkan Tuhan. Kemudian ia akan sampai pada satu masa di mana akan banyak keluar kalimat dengan awalan “what if…” atau “if only…”. Hingga akhirnya ia mengalami depresi atas kehilangan tersebut dan perlahan menerima kondisinya (acceptance). Kelima tahap ini adalah framework yang akan membantu kita untuk belajar hidup tanpa seseuatu atau seseorang yang meninggalkan kita. The good news is… kita bisa memantau kondisi kita pasca kehilangan dengan framework ini. The bad thing is… proses ini bersifat felksibel. Artinya, seseorang sangat mungkin mengalami lompatan fase atau bahkan mengulang fase. Berdasarkan pengalaman pribadi, gue pernah merasakan mengulang 4 fase pertama beberapa kali selama kurang lebih 6-7 bulan, sebelum akhirnya lanjut ke proses penerimaan.
To me, grieving, in other words, is the art of letting go and moving on. Dalam grieving kita memilih… untuk berjalan maju dengan melawan rasa sakit… atau menekan pengalaman menyakitkan ke dalam area unconsciousness kita. Tapi pada akhirnya, gue rasa kita akan tetap berjalan maju. Proses penerimaan itu sendiri menurut gue harus dibagi lagi menjadi beberapa tahap; menerima dengan rasa tidak rela, menerima bahwa yang sudah pergi biarlah pergi demi sesuatu yang baik (merelakan), menerima dan memaafkan dengan tuntas (forgiving), menerima dan bisa menjalani hidup tanpa sesuatu/seseorang yang meninggalkan kita (final acceptance). Dan dari semua tahapan itu, rasanya tidak ada satupun kata melupakan (forgetting). Lupa hanya akan terjadi ketika sesuatu secara alamiah menjadi tidak lagi penting (bukan melabel tidak penting dengan sengaja ketika sesuatu itu masih memiliki efek yang cukup besar) atau adanya hal lain yang lebih ‘besar’ yang pada akhirnya meniban informasi lainnya. Jadi, kalimat “yaudah, lupain aja…” bukan kalimat yang efektif ya untuk menghibur seseorang yang mengalami kehilangan (entah kematian, entah putus, entah bercerai). Cara paling baik rasanya adalah dengan menjalani proses yang ada apa adanya, katarsis selama dibutuhkan, dan jangan diburu-buru. Dan hal yang menurut gue paling baik yang bisa dilakukan oleh lingkungan orang yang sedang grieving adalah menemani, mendengarkan, dan keep being healthy (if you can’t listen or handle at the moment, tell him the truth and tell him you will listen later when you’re ready again).
I hope this writing will be useful for all of you, especially this year. Dan kalau ada pendapat lain atau ralat terhadap pandangan gue, monggo disampaikan. Thank you and God bless us. =)

Continue reading “About Grief”